CIREBON, – Isu penutupan PT Yihong Novatex Indonesia yang ramai beredar di media sosial mendapat bantahan tegas dari perwakilan pekerja, Suryana. Ia menyebut kabar tersebut menyesatkan dan tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Menurut Suryana, spanduk bertuliskan “Tutup PT Yihong” yang tersebar luas merupakan dokumentasi lama dari aksi demo warga Kanci pada tahun 2022 silam. Saat itu, unjuk rasa dilakukan karena kekecewaan masyarakat terhadap proses rekrutmen tenaga kerja yang dinilai tidak mengutamakan warga lokal.
“Foto itu bukan kejadian baru. Itu terjadi dua tahun lalu, bukan bagian dari aksi yang kami lakukan saat ini,” tegas Suryana, Rabu (9/4/2025).
Ia menjelaskan bahwa aksi unjuk rasa yang tengah berlangsung selama empat hari ini sama sekali tidak bertujuan untuk menutup perusahaan. Justru, para pekerja sedang memperjuangkan hak-hak mereka, terutama terkait nasib 617 buruh yang selama ini bekerja dengan perjanjian lisan.
“Aksi ini adalah bentuk protes atas tidak adanya kejelasan status kerja. Kami menuntut agar 617 pekerja diangkat menjadi karyawan tetap (PKWTT),” ungkapnya.
Ironisnya, lanjut Suryana, setelah keluarnya nota pemeriksaan dari Dinas Pengawasan Tenaga Kerja (Wasnaker), perusahaan malah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara bertahap. Total 83 pekerja telah di-PHK, namun masyarakat hanya mengetahui tiga nama terakhir, sehingga aksi para pekerja terkesan reaktif terhadap PHK tiga orang saja.
Salah satu dari tiga korban PHK terakhir adalah Dirman, pekerja senior yang telah bergabung sejak perusahaan mulai beroperasi dan menerima pesanan pertamanya.
“Dirman adalah saksi hidup berdirinya perusahaan ini. Kinerjanya baik, absensinya bagus, dan penilaiannya pun positif. Tapi tiba-tiba diberhentikan tanpa alasan jelas,” tutur Suryana prihatin.
Ia juga membantah bahwa aksi mogok kerja diprakarsai oleh serikat pekerja. Justru, aksi tersebut muncul atas dorongan dari pengawas ketenagakerjaan yang merasa tidak diberi ruang oleh manajemen untuk membela hak-hak buruh.
Masalah ini sendiri telah dilaporkan secara resmi ke Wasnaker Kabupaten Cirebon pada 30 Januari 2025. Hasil pemeriksaan pada 10 Februari lalu menemukan empat pelanggaran serius oleh perusahaan, antara lain:
1. Keterlambatan pembayaran kompensasi selama tiga tahun.
2. Pemberlakuan “hutang jam kerja” saat bahan baku tidak tersedia.
3. Status kerja 617 buruh tidak jelas karena hanya berlandaskan perjanjian lisan.
4. Tidak adanya sosialisasi peraturan perusahaan sejak awal berdiri.
Adapun tuntutan para buruh mencakup penghapusan sistem hutang jam kerja, pembayaran kompensasi yang tertunda, pengangkatan buruh menjadi karyawan tetap, serta penyampaian resmi peraturan perusahaan kepada seluruh pekerja.
“Kami tegaskan, aksi ini bukan untuk menutup perusahaan, melainkan murni memperjuangkan hak-hak kami yang selama ini diabaikan,” tutup Suryana.
Komentar